13.8.08

Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik

oleh: Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS

Tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Ini karena dakwah adalah sebuah pekerjaan yang akan menghantarkan ketinggian dan kekuatan umat (QS Ali Imran [3]: 110).


Dakwah ini pula akan menyebabkan kebahagiaan yang hakiki, di dunia maupun di akhirat (QS Ali Imran [3]: 104). Oleh karena itu, ketika kita menjadi pejabat, birokrat, pengusaha, politisi, kita pun harus menjadi dai, demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Meskipun demikian karena dakwah memerlukan pemikiran yang serius, sungguh-sungguh, dan perhatian yang penuh maka dalam implementasi dan pelaksanaannya, harus dilakukan oleh kelompok-kelompok orang dan umat, yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan dakwah, baik secara lisan, tulisan, maupun juga dengan tingkah laku dan amal perbuatan.


Inilah yang difirmankan oleh Allah SWT pada QS At-Taubah [9] ayat 122, yang intinya harus ada
thaifah khossoh (kelompok-kelompok khusus), yang mendalami ilmu-ilmu keislaman. Termasuk ilmu dakwah dan komunikasi untuk disampaikan kepada masyarakat.

Dakwah dan politik

Kita mengetahui bahwa politik yang dalam bahasa Arabnya as-Siyasah adalah sebuah upaya dan kegiatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan misi tertentu. Politik bagi kaum Muslimin merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan karena politik sangat berkaitan dengan semua bidang dan dimensi kehidupan.

Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semua
stakeholders-nya.

Demikian pula anggaran pendidikan yang dicanangkan sebesar 20 persen dari APBN, itu juga tidak mungkin bisa dilaksanakan tanpa kemauan politik yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dalam menentukan kebijakan. Politik sebuah keharusan dan keniscayaan, dalam arti untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia.


Tetapi dalam praktiknya, dakwah dengan politik ini adalah sebuah persinggungan, yang terkadang saling mengalahkan. Ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, maka politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia tersebut.


Politik bukanlah menjadi tujuan, tetapi alat untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat dan negara yang bersih, adil, jujur, dan menyejahterakan masyarakat. Politik itulah yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Dengan amanah, kejujuran, serta profesionalitas yang dibangun, maka lahirlah masyarakat Madinah, yaitu masyarakat Islam yang dirasakan keindahan dan kebaikannya oleh seluruh anggota masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Anbiya' [21] ayat 107: ''Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.''

Dengan politik yang berlandaskan nilai-nilai tersebut di atas, keadilan hukum dan ekonomi tentu dapat ditegakkan, begitu pula keadilan-keadilan yang lainnya. Tetapi, apabila dakwah dan nilai-nilai Islam hanya dijadikan sebagai
cover untuk diterima oleh masyarakat, sementara para politisinya bermain dengan cara-cara yang tidak baik dan kotor, tidak amanah, tidak jujur, tidak bersih, serta menghalalkan segala cara, menjadikan materi sebagai alat untuk mencapai dan mendapatkan kekuasaan maka politik akan mengalahkan dakwah.

Politik dan dakwah tidak mungkin bisa disatukan dalam kondisi yang demikian. Dakwah bertujuan memperbaiki masyarakat dari kondisi yang kurang baik menjadi kondisi yang lebih baik, sementara politik dalam pengertian negatif menghalalkan segala macam cara dengan menafikan nilai-nilai agama. Tentu bertujuan memperkaya diri, melanggengkan kekuasaan, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan lain-lain. Kita berharap di era multipartai sekarang ini, di mana kaum Muslimin bercita-cita melaksanakan syariah Islam dalam semua bidang kehidupan, akan lahir politisi-politisi yang juga dai, yang ketika melakukan kegiatan politik senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai keislaman.


Hakikat kemenangan

Harus disadari bersama bahwa kemenangan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata ditentukan oleh berapa banyak kekuasaan dan jabatan itu bisa diraih dan dikuasai serta berapa banyak anggota yang duduk di DPR maupun di DPRD. Akan tetapi, hakikat kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai keislaman tersebut walaupun secara kasat mata belum banyak kekuasaan yang dicapai dan diraih. Tetapi, ketika para dai yang politisi ini mendapatkan jabatan dan kekuasaan tersebut dengan cara-cara yang baik dan benar, maka itulah sejatinya hakikat kemenangan.

Ketika kita menghadirkan nilai-nilai alternatif, seperti nilai-nilai khianat diganti dengan nilai amanah, nilai-nilai korup diganti dengan nilai-nilai yang bersih, dan nilai-nilai asal-asalan diganti dengan nilai profesionalitas yang tinggi, maka itulah hakikat kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai yang bersumberkan pada ajaran Islam.


Apalagi, dalam pandangan Allah SWT kemenangan bukanlah ditentukan oleh kuantitas, tetapi justru ditentukan oleh kualitas. Perhatikan firman-Nya dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 249: ''Berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.''


Perang Badar yang terjadi antara kaum Muslimin dan kaum
kuffar/ Quraisy yang sangat fenomenal, walaupun kaum Muslimin ketika itu sangat sedikit, sementara kaum kafir berjumlah sangat banyak, yakni tiga kali lipat dari jumlah kaum Muslimin, tetapi karena kaum Muslimin memiliki akidah yang kuat, keistiqomahan, kesatuan dan ukhuwwah yang kuat serta teruji, Allah memberikan kemenangan pada mereka.

Perhatikan firman-Nya dalam QS Ali Imran [3] ayat 123: ''Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah (sedikit jumlahnya dan perlengkapan perang yang tidak mencukupi). Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.''


Pelajaran dari Perang Uhud

Ketika kaum Muslimin melaksanakan peperangan berikutnya, yakni perang Uhud yang sangat terkenal. Pada kali pertama kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah karena semua tentara kaum Muslimin pada waktu itu memiliki kedisiplinan yang tinggi pada aturan dan ketentuan. Semuanya merasa ikhlas dan memiliki motivasi yang sama, yakni berjuang serta berjihad di jalan Allah SWT.

Akan tetapi, ketika terjadi perebutan
ghanimah (rampasan perang) dan adanya tentara yang tidak disiplin pada aturan, yakni ketika pasukan pemanah ( ar-Rummah) diperintahkan untuk tetap pada posisinya dalam kondisi apa pun, tetapi karena mereka (pasukan pemanah) tergoda dengan banyaknya ghanimah yang diperebutkan oleh para tentara yang lain, mereka turun meninggalkan posisinya untuk ikut memperebutkan ghanimahtadi. Hal itu dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang balik pasukan kaum Muslimin.

Maka terjadilah musibah yang sangat besar yang dialami oleh kaum Muslimin. Banyak sahabat yang mati syahid. Meskipun kemudian, Allah SWT tetap menggerakkan hati kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam menghadapi musuh-musuh agama.


sumber: www.republika.co.id

0 Comments:

 

blogger templates 3 columns | Make Money Online