12.3.09

Shallu alan Nabiy


Oleh : KH.Rahmat Abdullah

Apa yang Tuan fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya?
Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk tadib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muadzin mengumandangkan suara adzan.

Dirumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian.

Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.


Hari-hari penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk lebih dari satu dua kali- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan, dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya si Benar. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia
menjawab: Labbaik. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai orang rumah.

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina, demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Quran, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya. Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami. Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu
sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat iashalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, Tenang, hanya angin gurun, hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sumah. Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya.
Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta.
Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya
bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu vulgar perintah tersebut, Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.

Allahumma shalli alaihi waala aalih!

Baca Selengkapnya......

12.1.09

Biarkan Aku Jadi Orang Palestina!

Dia telah menyadari kenyataan itu sejak awal. Tepatnya sejak pemimpin redaksi majalahnya menugaskannya ke Israel untuk meliput perkembangan terakhir negeri itu. Dia menyadarinya dengan baik bahwa kini ia sedang memasuki dunia baru yang penuh petualangan. Sebuah dunia yang sarat dengan bau kematian sekaligus suara-suara kehidupan.

Sekalipun begitu, ia tak pernah menduga sama sekali kalau hal itu akan menjadi awal dari masa ketika ia harus melewati jenak-jenak kebimbangan yang terbentang jauh, jauh sampai melampaui tapal batas yang mungkin dicapai sepelontaran batu anak-anak Palestina. Ia tidak lagi menemukan jalan menuju kehidupan selain ini: di kematian.

Ia tak pernah membayangkan bahwa dari titik itu ia kelak akan kehilangan beberapa huruf dari abjad keyakinannya, di tengah gumpalan lahar kata yang panas dan bara perasaan yang menyala-nyala. Dan sekarang, ia bahkan tak dapat memahami suaminya, Albert, seseorang yang selama ini dengan setia selalu ia temani. Rasanya gandengan tangan mereka tak pernah bisa lepas. Atau barangkali ia memang sudah tak mempercayainya lagi.

Ketika itulah, saat-saat kesubliman berubah menjadi kemarahan, ia muntahkan semuanya. Dan sambil mengunyahnya ia berteriak keras-keras penuh perasaan yang menggejolak. ”Demi Tuhan, sekarang saya benar-benar tidak tahu siapa yang lebih kuat diantara mereka.” Sambil menekuri asap rokoknya, suaminya menjawab,”Adalah hak penyerang untuk menentukan warna peperangan.”

”Dengan bersenjatakan batu?” Albert tidak menjawab, ia hanya tersenyum datar sembari mencampakkan puntung rokoknya ke tanah. Namun itu ternyata membuatnya kian marah. Seketika ia melemparkan sandwich-nya dan berteriak penuh emosi. ”Dengan hanya bersenjatakan batu, semua harapan akan pupus musnah ditelan perang yang tak seimbang.”

”Siapa bilang yang kita saksikan ini perang?”
”Lalu apa namanya?”
”Sebutlah ia, sesuatu yang tak dapat dihentikan oleh kata yang lusuh.”
Cathy menatap tanah, terpekur. Sementara gumpalan kekesalan memenuhi rongga dadanya. Sejurus kemudian, ia kembali menatap suaminya. ”Saya tidak melihat mereka lebih beruntung dari puntung rokok itu,”katanya sambil menunjuk puntung rokok yang tergeletak di atas tanah. ”Bukan tidak mungkin.”
”Boleh jadi kehadiranmu menjadi harga bagi kematian mereka.”
”Saya kira kamu tidak sedang memperolok-olokkan saya,’kan.”
”Percayalah, sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa batu kecil mereka ternyata memiliki kekuatan sedahsyat itu. Kekuatan tersebut rupanya tersembunyi di balik sorot mata mereka. Dan mata mereka tak pernah takut pada debu.”

Albert memalingkan mukanya dari tatapan istrinya. ”Barangkali dunia harus membuka matanya kembali,” gumamnya pelan, seakan-akan ia tujukan pada dirinya sendiri.

Dan kesubliman itu makin memadati celah-celah benak Cathy. Sesuatu yang membuatnya kian tak mampu memahami Albert, suaminya. Di depan matanya, seluruh dimensi lain yang menyelimuti kepribadian Albert terlalu luas. Sementara itu, ia merasa terlalu sederhana agar dapat memahaminya. Kebingungan Cathy tampak jelas ketika ia kembali bertanya: ”Apa yang mereka inginkan dari semua ini?”

”Mereka menginginkan sesuatu yang tak mungkin diraih kecuali dengan cara itu.” Mendengar jawaban tersebut Cathy langsung memegang tangan suaminya. Dan dengan tatapan lesu, ia berkata: ”Albert, ah, saya benar-benar tidak dapat memahamimu lagi.” Albert segera memeluk istrinya, dan menyandarkan kepalanya ke dalam lekukan dadanya. ”Mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat membuat mereka merasa rugi. Mereka hanya...” ”Yah, mereka memang anak-anak. Mereka masih terlalu kecil. Mereka belum tahu apa arti perang...” potong istrinya.
”Anak-anak dilahirkan untuk kehidupan. Tapi mereka? Mereka? Mereka dilahirkan bersama kematian!” ”Akan tetapi mereka masih terlalu kecil! Hanya kedamaian yang hidup dalam pancaran mata mereka.”

”Perdamaian berarti kebebasan.” (Kegeraman dalam suara-suara tersebut bagai merasuki kata-katanya, atau itu amarah kesedihannya?) Albert kembali menyiagakan kamera yang tak pernah lepas dari tangannya. Sejurus kemudian mereka berdua kembali mengejar serdadu-serdadu Israel yang mulai memuntahkan peluru.

Di mata tentara Israel, segala sesuatu menjelma menjadi batu kemarahan. Bahkan kabel-kabel listrik, tangan-tangan kecil, kaleng-kaleng sirop yang tergeletak di jalan-jalan, semua beralih menjadi benda-benda menakutkan yang setiap saat bisa mematikan. Albert berhenti sejenak, sebuah panorama yang telah lama diimpikan tiba-tiba muncul di depan matanya. Segera saja ia mengabadikan pemandangan langka itu dengan kamera jitunya. Dalam foto itu, tampak wajah seorang bocah yang juga sedang gusar. Sayatan sembilu kesenduan, yang memancar dari kedua bola matanya begitu memilukan, bersekutu erat dengan kedua tangannya yang tampak begitu kekar dan teguh. Prototipe anak-anak Palestina.

Dalam gambar itu juga terlihat potret seorang serdadu Israel yang tampak bagai raksasa bdoh. Air mukanya mengesankan bahwa ia tidak menyadari kekerdilan yang berakar di dalam hatinya, yang terus membuatnya bergidik dirundung ketakutan. Albert memegang pundak istrinya. Ia tersenyum, lalu berkata: ”Coba kita saksikan nanti, apa kata dunia saat menyaksikan potret tentara Israel yang sesungguhnya.”

”Saya tidak pernah tahu kalau kau ternyata membenci orang-orang Israel.”
”Percayalah, saya tidak membenci mereka.”
”Tapi sekarang kamu menunjukkannya.”
”Dengan segala kebengisan mereka? Yah, saya memang membenci mereka!””Bukan suatu kesalahan jika mereka mencintai hidup.”
”Namun adalah zalim jika seseorang mempertahankan kehidupan dirinya dengan merampok umur orang lain.”
”Jadi kamu percaya pada bocah-bocah itu?”
”Ya, seperti keyakinanku pada matahari, dan pada kebenaran yang telah mendorong saya datang kesini. Yakinlah, saya tidak akan sanggup melawan tentara Israel dengan hanya bersenjatakan batu-batu kecil. Misteri kekuatannya tersembunyi dibalik tangan-tangan mereka, Sayang. Bukan pada batu-batu itu.”
”Namun lontaran batu-batu mereka akan berjatuhan, lalu dihancurleburkan oleh peluru.”
”Peluru itu sudah habis sejak ia ditembakkan. Tapi batu-batu mereka tetap abadi, karena bumi akan selalu setia menyimpan pecah-pecahannya.”
”Akan tetapi mereka masih terlalu kecil.”
”Benar. Namun ketika mereka mulai menggenggam batu-batu, mereka bukan lagi anak kecil.”
Khayalan Albert melayang jauh, kemudian dengan tiba-tiba ia mulai berucap:”Semalam kamu menangis. Mengapa? Apa yang terjadi?”
”Tak ada apa-apa. Kecuali tulang belulang yang hancur remuk, sejumlah orang yang dikubur hidup-hidup, kepala-kepala yang terus menerus dihajar pentungan. Tak ada apa-apa. Kecuali hanya kematian. Yah, kematian tanpa harga.”
”Saya ingin kamu kembali ke Amerika.”
”Saya tidak akan meninggalkanmu seorang diri.”
”Yakinlah, kamu tidak akan sanggup membawa beban lebih dari ini. Mereka semua ketakutan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita jika kita membuat mereka marah?”
Sebuah tatapan penolakan dilayangkan Cathy kepada suaminya. Sebentar kemudian ia mengingatkan: ”Kebijakan tak pernah bisa berdampingan dengan ketakutan, Albert!”
”Pekerjaan kita penuh bahaya. Kuharap, kembalilah, perca...” Albert tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Tiba-tiba ia berlalri cepat, mengejar serdadu-serdadu Israel yang kembali menembakkan senjata dan menyemburkan gas air mata.

Seorang serdadu Israel yang takut melihat sorot matanya segera menangkapnya. Mereka memukulinya ramai-ramai. Gadis kecil itu tampak begitu suci. Ia bahkan lebih suci dari cahaya fajar. Yah, fajar yang dibenci oleh serdadu-serdadu itu. Pemandangan tadi membuat Albert kehilangan kesabaran. Ia tak sanggup melanjutkan pemotretannya lagi, ia tak tahan lagi berdiam diri bagaikan fokus kamera. Seluruh kemarahannya tumpah dalam teriakannya: ”Kalian akan membunuhnya!”

Seorang serdadu Israel menatapnya, dengan dendam. Ia kemudian mendorong Albert agar menjauh. Ia juga merampas kamera dari tangannya, menghempaskannya ke tanah dan menginjaknya dengan kedua kakinya. Albert berusaha membela diri dan istrinya, yang telah menjadi pasangan hidupnya sejak ia menjadi wartawan. Namun serdadu Israel itu tidak memberinya kesempatan untuk berdiri. Ia bahkan memukul kepalanya. Ia mengucapkan begitu banyak kata tanpa arti yang jelas. Ia tampak begitu dendam bagai topan, tapi sekaligus takut bagai pasir.

Cathy segera menghampiri suaminya sembari berteriak sekeras-kerasnya. Semua kata-kata busuk, yang mungkin dipakai mengata-ngatai serdadu-serdadu keparat itu, ia keluarkan, sambil membalut luka suaminya. Ia lalu membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang malam Cathy duduk menunggui suaminya. Pemandangan ini seperti menghidupkan luka-lukanya. Perlahan suaminya tampak mulai membuka matanya. Seketika ia percaya bahwa musibah itu terasa akan lebih ramah. Dengan senyum dibuat-buat, Cathy berkata: ”Saya tahu kamu belum akan mati. Tenanglah. Kita tak akan mendiamkan kejadian ini. Dunia pasti akan tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tidak usah khawatir, saya telah membelikan kamera baru untukmu.”

”Cathy, sayangku, demi aku kembalilah ke Amerika.”
”Setelah kejadian ini? Mustahil!”
”Mereka semua ketakutan.”
”Tidak, sebelum aku membelalakkan mata dunia dengan kenyataan yang sesungguhnya.”
Albert terdiam sejenak. Sembari menahan rasa sakit yang amat sangat di kepalanya, ia berucap:
”Orang boleh menemukan kebenaran di setiap tempat. Namun hanya disini orang dapat merasakannya.”
”Saya akan mengadukan serdadu-serdadu yang menyerangmu ke pengadilan,”ujar Cathy. Albert kembali meraba kepalanya dengan kepalan tangannya. Ia menyeringai, lalu tertawa dan berkata: ”Jangan berbuat tolol.”
”Kamu mulai latah, Albert.”
”Saya telah merenung begitu lama, hingga akhirnya saya bisa memahami misteri permainan ini.”
”Wah, boleh juga punya suami filosof.”
Air mukanya tiba-tiba berubah seketika seakan-akan mengingat sesuatu, kemudian ia bertanya: ”Apa yang terjadi dengan gadis kecil itu?”
”Serdadu-serdadu Israel memasuki rumah-rumah penduduk dan memukuli mereka tanpa ampun, lalu merampasi harta benda mereka.”
”Apa yang terjadi dengan gadis kecil itu?” Albert mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi.
”Ia tewas!”
Mendengarnya Albert langsung berdiri dari tempat tidurnya. Ia merasa begitu sedih dan murung. Ia menatap ke kejauhan, menatap kekosongan. Ia mendesis:”Tak seorang pun menolongnya.”
”Mereka mengikutinya sampai ke rumah sakit. Tapi kemudian mereka membunuhnya di sana,” ujar Cathy. ”Sendiri?” tanya Albert.
”Orang-orang Israel itu tidak percaya pada jumlah yang kecil.”

Cathy terdiam sejenak. Lalu dengan nada suara tinggi ia mengatakan: ”Mereka harus membayar harga kegilaan mereka akan darah yang tercurah.” Kemudian Cathy keluar ruangan itu. Air matanya tumpah. Setiap detik berlalu begitu bengis, sebengis wajah serdadu-serdadu Israel yang berkeliaran di jalan-jalan. Begitu menyakitkan! Pahit seperti darah bocah-bocah cilik itu. Cathy kembali menenteng kameranya, menelusuri jalan-jalan Palestina. Ia mencari kisah baru, tentang seorang bocah yang mengacungkan tangan kemenangan untuk sebuah perang yang belum dimulai, tentang seorang bocah yang mengacungkan tangan demi cinta, dan perang!

Seorang bocah kecil, yang sedang mencari mimpi-mimpi kepahlawanan, mendekati seorang serdadu Israel, lalu melemparnya dengan sebuah batu kecil. Matanya nyalang dan menyala. Sama sekali tidak ada ketakutan terpancar dari sorot matanya. Di matanya, masa kanak-kanaknya tampak seperti sebuah mahluk baru, tempat segala sesuatu lebur menjadi satu, kemudian dengan tiba-tiba menemukan betapa tidak berartinya tatapan matamu padanya, betapa tiada bertepinya tempat bersandar seluruh angan-anganmu. Masa kanak-kanak di matanya bagai garis-garis tanpa warna yang saling bersilangan. Dan kau tahu, setiap bocah Palestina membawa mahluk seperti ini dalam bola matanya.

Serdadu itu berusaha menagkapnya. Namun tubuhnya yang ringan membuat si serdadu gagal menghisap darahnya dan meremuk-remuk tulang belulangnya yang masih rawan. Cathy segera menjepret adegan yang begitu berani yang diperagakan bocah tersebut. Kebahagiaan terbayang jelas di wajahnya melihat bocah kecil itu berhasil lolos dari kejaran serdadu Israel. Kini ia tahu, bukan hanya orang-orang Indian yang pandai menguliti kepala manusia! Akan tetapi ia masih bisa menemukan sejumlah alasan yang mungkin membenarkan orang-orang Indian itu melakukannya.

Serdadu Israel itu segera sadar akan kehadiran Cathy. Amarahnya meledak. Ia berusaha mengusir Cathy dengan kasar. Namun sebuah batu, yang tiba-tiba dilemparkan si bocah untuk kedua kalinya, memaksa serdadu Israel itu meninggalkannya. Ia segera memburu kencang, sangat kencang, mengejar si bocah sembari berteriak mengancam akan membunuhnya. Serdadu itu menebarkan peluru senapannya ke segala arah. Akan tetapi tubuh bocah kecil itu enggan disasari peluru.

Cathy berusaha mendekati bocah-bocah pembangkang tersebut. Ia melihat seorang bocah yang sejak tadi mengawasinya. Si bocah tampak bingung. Cathy mendekatinya dengan hati-hati. Cathy sama sekali tidak merasa kalau bocah itu takut atau ragu padanya. Ia lalu memegang kedua tangan kurusnya yang berlumuran darah dan debu bebatuan. Dan dengan hangat ia mendaratkan sebuah ciuman ke jidatnya. Oh, betapa ia merasa begitu kerdil di depan sang pembangkang kecil. Kemudian dilepaskannya kalung kesayangan yang selama ini dipakainya. Ia merasa kalung itulah satu-satunya harta yang paling berharga baginya. Ia lalu memasangkannya ke leher si bocah, dan menatapnya sendu. Pelan-pelan anak itu menjauhi Cathy, kemudian memungut sebuah batu kecil dan menyerahkannya padanya. Itulah hadiah termahal dari bocah pembangkang. Barangkali bocah tersebut belum terlalu memahami makna tindakan wartawati Barat itu padanya. Namun ia agaknya merasa bahwa si wartawati tidak berbeda jauh dengan ibunya yang selalu menunjukinya tempat-tempat yang banyak menyimpan pecahan batu.

Cathy menggenggam batu kecil itu. Ia merenunginya dalam-dalam. Ia kemudian pergi seorang diri. Mata bocah pembangkang tadi masih terus memandangi kepergiannya. Hingga akhirnya Cathy menjauh bersama hadiah termahalnya. Dan si bocah pun kembali memungut batunya, kembali bergelut dengan serdadu-serdadu yang terus memburu dengan rasa haus akan kucuran darahnya. Dari kejauhan Cathy kembali menatap si bocah kecil. Semua peristiwa di masa lalu kembali terekam cepat dalam ingatannya. Kini semua menjadi jelas. Sekaligus mengerikan. Masa kanak-kanak tidak mungkin sirna di tengah negeri perdamaian dan anak-anak. Cathy masih menatap anak tadi seakan hendak menyimpannya dalam matanya, selamanya.

Bocah kecil itu berlari bagai anak panah, melemparkan batu kecilnya, dan meneriakkan kata-kata yang tak dapat dipahami Cathy. Sekalipun ia yakin bahwa kata-kata itulah yang menghidupkan revolusi pada kedua bola mata mereka, pada telapak kaki mereka. Si bocah kecil terus meneriakkan ”Allahu Akbar.” Namun tiba-tiba saja serdadu Israel menggilasnya dengan kendaraan lapis baja. Bocah kecil itu berusaha berlari dan menghindar. Ia berusaha mencari dada ibunya. (Dia bocah kecil. Mengapa mobil berlapis baja harus menjadikan tubuhnya yang masih hijau sebagai batu-batu jalanan?)

Seakan kesurupan Cathy menghampirinya. Ia berteriak: ”Tidak! Tidak! Tidak!” Namun teriakannya tak’kan pernah sampai ke telinga siapa pun. Kendaraan lapis baja mengubah tubuh kecil yang masih hijau itu sebagai mimpi yang tak sempat menjadi kenyataan. Cathy melemparkan dirinya yang remuk redam ke atas tanah. Dipeluknya erat-erat bocah yang masih berlumuran darah itu. Si bocah masih mengenakan kalung pemberiannya. Dan tersenyum seperti bocah lainnya. Itu wajah seorang bocah. Mengapa mereka mengotorinya dengan darah? Bahaya apakah yang mungkin ditimbulkan oleh sebuah batu kecil, dari seorang bocah kecil, bagi para serdadu bersenjata api otomatis itu?

Cathy menggoncang-goncangkan tubuh si bocah. Ia berusaha membangunkannya. Bocah itu terlalu lembut. Mengapa ia harus mati? Umurnya pasti belum sampai enam tahun. Akan tetapi mengapa ia harus mati begitu cepat? Cathy menatap gusar ceceran darah yang mengucur ke bumi. Kemudian ia menatap tangannya sendiri yang masih menggenggam hadiah termahal dari si bocah. Ia merasa seperti dihentakkan oleh kesedihan dan kemarahan.

Lalu tiba-tiba ia berteriak sekuat-kuatnya, dibangkitkan oleh kekuatan yang dibawa bocah-bocah pembangkang di tanah jajahan: ”Tidak! Tidak! Tidak!” Dan serta merta hadiah si bocah kecil ia lontarkan sekuat tenaga ke arah serdadu-serdadu Israel. Cathy terus berteriak, terus memungut batu-batu bersama bocah-bocah lainnya, dan melemparkannya ke tentara Israel itu. Ia terus dan terus membalaskan dendam demi darah suaminya dan darah bocah kecil itu.

Biarkan aku jadi orang Palestina!
Biarkan aku jadi orang Palestina!

Li Man Tahtamil al-Rashshah. Jihad al-Rajbi. Filistin Muslimah, 1993. Terjemahan Anis Matta. Pustaka Firdaus dan Yayasan Sidik, 1995.


Baca Selengkapnya......

25.12.08

MK Hapus Sistem Nomor Urut

JAKARTA (SINDO) -Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan tentang penentuan anggota legislatif terpilih berdasarkan 30 % bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut. Dengan demikian, partai politik harus menggunakan suara terbanyak untuk menentukan anggota legislatif.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud MD mengatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e Undang-Undang (UU) No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Maka penentuan calon terpilih harus didasarkanpada calon legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan," kata Mahfud MD dalam amar putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Dalam pertimbangan mahkamah disebutkan, setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Artinya, ketentuan pasal tentang BPP dan nomor urut mengandung standar ganda dan dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda.

Hakim konstitusi Muhammad Alim menambahkan, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan pilihan.



Pertimbangan mahkamah selanjutnya, pemilihan anggota legislatif dilakukan dengan sistem proporsional terbuka. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menen¬tukan calon anggota legislatif. Dengan begitu, akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

"Keinginan rakyat me¬milih wakil-wakil yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka dapat terwujud," kata Alim.

Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat juga langsung berhak memilih siapa yang mereka kehendaki. "Rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta pemilu demi mencapai kemenangan semata," sebut Alim.

Mahkamah menilai aturan tentang 30% BPP dan no¬mor urut telah menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat. Pelanggaran tersebut karena pilihan masyarakat tidak diindahkan dalam penetapan ang¬gota legislatif. Misalnya, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang berbeda secara ekstrem, calon yang mendapat suara banyak terpaksa dikalahkan oleh calon yang mendapat suara sedikit dengan nomor urut lebih kecil.
"Tidak ada rasa dan logika yang dapat membenarkan bahwa keadilan dan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat dilanggar dengan cara seperti itu," lanjut Alim.

Meski Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hu¬kum mengikat, hal itu tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). "Putusan Mahkamah demikian bersifat selfexecuting," kata Alim.
Artinya, KPU, berdasar¬kan kewenangan Pasal 213 UU 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih sesuai putusan MK dalam perkara ini. Hakim konstitusi Maria Farida berbeda pendapat. Maria tidak setuju Pasal 214 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

"Penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214 UU No 10/2008 merupakan tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang bagi keterpilihan calon perempuan. Karena itu, penetapan penggantian dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut," ujar Maria.

Dengan membatalkan Pasal 214 huruf a sampai e, kata Maria, penetapan calon terpilih dilakukan berdasar¬kan siapa yang meraih suara terbanyak. Akibatnya, sistem zipper, yakni sistem yang mengharuskan partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon, menjadi tidak berguna.

Tindakan afirmatif mendorong perempuan lebih ba¬nyak di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, menjadi hilang. Suara terbanyak adalah identik dengan menafikan tindakan afirmatif tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Mahkamah juga memutuskan tetap mempertahankan DPR, DPD, dan DPRD, serta memutuskan untuk mempertahankan ketentuan kuota perempuan sebesar 30% dan terdapat sekurang-kurangnya satu perempuan bakal calon pada setiap tiga orang di daftar bakal calon, seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu.

Menurut mahkamah, pasal itu tidak melanggar kons¬titusi. "Ketentuan Pasal 55 ayat (2) merupakan peletakan dasar-dasar yang adil dan secara sama bagi laki-laki dan perempuan," Ian jut Alim.

Mendengar putusan ter¬sebut pemohon langsung terlihat gembira. Muhammad Sholeh, pemohon yang juga calon anggota DPRD Jawa Timur Periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indo¬nesia Perjuangan (PDIP) nomor unit 7, mengatakan, dengan putusan ini semua calon harus berjuang untuk mendapatkan posisinya. "Ini bukan hanya untuk kepentingan saya, tapi juga kepentingan bersama," katanya.

Hal senada disampaikan pemohon lain, Sutjipto, calon anggota legislatif dari Partai Demokrat. "Buat saya yang berada pada nomor unit 1, sebenarnya putusan ini tidak berpengaruh.Tapi ini untuk demokrasi dan rasa keadilan bagi calon legislatif lain," katanya. Putusan ini memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara no¬mor urut besar dengan calon legislatif yang berada di nomor urut kecil.

Tidak Ada Hambatan

Mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Ferry Mursyidan Baldan meminta semua pihak menghormati putusan MK. Dia mengusulkan segera digelar pertemuan konsultasi antara pemerintah, DPR dan KPU untuk menindaklanjuti putusan tersebut. "Atau KPU menelaah secara yuridis untuk kemudian dikonsultasikan dengan pemerintah dan DPR. Hal ini harus segera dilakukan," ujar Ferry.

Menanggapi kekhawatiran beberapa pihak, Mahfud MD menambahkan, dengan putusan tersebut dia menjamin tidak akan terjadi hambatan yang pelik. Alasannya, pihak terkait, dalam hal ini KPU, pada sidang pleno di MK pada 12 Desember lalu, sudah menyatakan siap. "KPU akan melaksanakan putusan mahkamah jika ha¬rus menetapkan anggota legislatif dengan suara terbanyak," tambahnya.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati menyatakan akan membuat peraturan untuk melaksanakan putusan tersebut. "KPU dan tentu saja seluruh peserta pemilu, terutama parpol, calon anggota DPR dan DPRD, harus mengikuti putusan itu karena sudah dinyatakan berten-tangan dengan UUD 1945," katanya.

Mengembalikan Hak Rakyat

Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengatakan, putusan MK adalah bonus akhir tahun bagi pemilih. Dengan putus¬an tersebut, kedaulatan di tangan pemilih. "Pilihan masyarakat tidak lagi dipelintir oleh parpol," urainya pada SINDO kemarin. Dia me¬nambahkan, putusan MK tersebut merupakan putusan yang progresif. "Ini peringatan telak bagi DPR untuk tidak membuat peraturan yang manipulatif dan untuk kepentingan parpol dalam jangka pendek," gugatnya.

Menurut Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, putusan MK ini memperlihatkan kemenangan untuk mengembalikan hak rakyat. "Negara ini milik rakyat. Mahkamah telah meng¬hormati hak rakyat," ujarnya.
Ketua DPP Partai Demo¬krat Bidang Politik Anas Urbaningrum menyatakan sejak awal partainya konsisten mendukung penetapan calon terpilih dengan model suara terbanyak. Bagi Anas, suara terbanyak lebih adil, baik dalam konteks sesama calon maupun adil terhadap suara rakyat. (m purwadi/kholil/ ahmad baidowi)

Baca Selengkapnya......

25.11.08

Amanat dan Jabatan

Pada suatu hari bibi Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Ra. pergi ke rumahnya dengan maksud hendak meminta tambahan dari Baitulmal. Ketika dia masuk, dia melihat keponakannya yang Amirul Mukminin itu sedang memakan kacang adas dan bawang (makanan rakyat biasa).

Melihat bibinya datang Umar bin Abdul Aziz menghentikan makannya. Beliau sudah mengetahui maksud kedatangan bibinya. Umar bin Abdul Aziz kemudian mengambil sedirham uang perak, lalu dibakarnya diatas api. Sesudah cukup panas, ia bungkus uang perak itu dengan kain dan diberikan ke tangan bibinya. Katanya,”Inilah tambahan yang bibi mintakan itu!”

Karuan saja, begitu tangan wanita itu menggenggam bungkusan tersebut ia menjerit kepanasan. Lalu Umar berkata menjelaskan,”Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakar aku dan bibi karena menyelewengkan harta kaum muslimin.”

Sumber: Aniesul Mukminin, Shafwak Sa’dallah al Mukhtar.

Baca Selengkapnya......

13.8.08

Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik

oleh: Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS

Tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Ini karena dakwah adalah sebuah pekerjaan yang akan menghantarkan ketinggian dan kekuatan umat (QS Ali Imran [3]: 110).


Dakwah ini pula akan menyebabkan kebahagiaan yang hakiki, di dunia maupun di akhirat (QS Ali Imran [3]: 104). Oleh karena itu, ketika kita menjadi pejabat, birokrat, pengusaha, politisi, kita pun harus menjadi dai, demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Meskipun demikian karena dakwah memerlukan pemikiran yang serius, sungguh-sungguh, dan perhatian yang penuh maka dalam implementasi dan pelaksanaannya, harus dilakukan oleh kelompok-kelompok orang dan umat, yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan dakwah, baik secara lisan, tulisan, maupun juga dengan tingkah laku dan amal perbuatan.


Inilah yang difirmankan oleh Allah SWT pada QS At-Taubah [9] ayat 122, yang intinya harus ada
thaifah khossoh (kelompok-kelompok khusus), yang mendalami ilmu-ilmu keislaman. Termasuk ilmu dakwah dan komunikasi untuk disampaikan kepada masyarakat.

Dakwah dan politik

Kita mengetahui bahwa politik yang dalam bahasa Arabnya as-Siyasah adalah sebuah upaya dan kegiatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan misi tertentu. Politik bagi kaum Muslimin merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan karena politik sangat berkaitan dengan semua bidang dan dimensi kehidupan.

Tanpa politik, tidak mungkin kita bisa membangun sebuah kehidupan yang baik, yang adil dan sejahtera. Hukum tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa ada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ekonomi syariah pun tidak mungkin bisa dilaksanakan di negara kita tanpa ada kemauan politik dari semua
stakeholders-nya.

Demikian pula anggaran pendidikan yang dicanangkan sebesar 20 persen dari APBN, itu juga tidak mungkin bisa dilaksanakan tanpa kemauan politik yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dalam menentukan kebijakan. Politik sebuah keharusan dan keniscayaan, dalam arti untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia.


Tetapi dalam praktiknya, dakwah dengan politik ini adalah sebuah persinggungan, yang terkadang saling mengalahkan. Ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, maka politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan mulia tersebut.


Politik bukanlah menjadi tujuan, tetapi alat untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat dan negara yang bersih, adil, jujur, dan menyejahterakan masyarakat. Politik itulah yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Dengan amanah, kejujuran, serta profesionalitas yang dibangun, maka lahirlah masyarakat Madinah, yaitu masyarakat Islam yang dirasakan keindahan dan kebaikannya oleh seluruh anggota masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Anbiya' [21] ayat 107: ''Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.''

Dengan politik yang berlandaskan nilai-nilai tersebut di atas, keadilan hukum dan ekonomi tentu dapat ditegakkan, begitu pula keadilan-keadilan yang lainnya. Tetapi, apabila dakwah dan nilai-nilai Islam hanya dijadikan sebagai
cover untuk diterima oleh masyarakat, sementara para politisinya bermain dengan cara-cara yang tidak baik dan kotor, tidak amanah, tidak jujur, tidak bersih, serta menghalalkan segala cara, menjadikan materi sebagai alat untuk mencapai dan mendapatkan kekuasaan maka politik akan mengalahkan dakwah.

Politik dan dakwah tidak mungkin bisa disatukan dalam kondisi yang demikian. Dakwah bertujuan memperbaiki masyarakat dari kondisi yang kurang baik menjadi kondisi yang lebih baik, sementara politik dalam pengertian negatif menghalalkan segala macam cara dengan menafikan nilai-nilai agama. Tentu bertujuan memperkaya diri, melanggengkan kekuasaan, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan lain-lain. Kita berharap di era multipartai sekarang ini, di mana kaum Muslimin bercita-cita melaksanakan syariah Islam dalam semua bidang kehidupan, akan lahir politisi-politisi yang juga dai, yang ketika melakukan kegiatan politik senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai keislaman.


Hakikat kemenangan

Harus disadari bersama bahwa kemenangan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata ditentukan oleh berapa banyak kekuasaan dan jabatan itu bisa diraih dan dikuasai serta berapa banyak anggota yang duduk di DPR maupun di DPRD. Akan tetapi, hakikat kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai keislaman tersebut walaupun secara kasat mata belum banyak kekuasaan yang dicapai dan diraih. Tetapi, ketika para dai yang politisi ini mendapatkan jabatan dan kekuasaan tersebut dengan cara-cara yang baik dan benar, maka itulah sejatinya hakikat kemenangan.

Ketika kita menghadirkan nilai-nilai alternatif, seperti nilai-nilai khianat diganti dengan nilai amanah, nilai-nilai korup diganti dengan nilai-nilai yang bersih, dan nilai-nilai asal-asalan diganti dengan nilai profesionalitas yang tinggi, maka itulah hakikat kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan adalah ketika kita berpihak pada nilai-nilai yang bersumberkan pada ajaran Islam.


Apalagi, dalam pandangan Allah SWT kemenangan bukanlah ditentukan oleh kuantitas, tetapi justru ditentukan oleh kualitas. Perhatikan firman-Nya dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 249: ''Berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.''


Perang Badar yang terjadi antara kaum Muslimin dan kaum
kuffar/ Quraisy yang sangat fenomenal, walaupun kaum Muslimin ketika itu sangat sedikit, sementara kaum kafir berjumlah sangat banyak, yakni tiga kali lipat dari jumlah kaum Muslimin, tetapi karena kaum Muslimin memiliki akidah yang kuat, keistiqomahan, kesatuan dan ukhuwwah yang kuat serta teruji, Allah memberikan kemenangan pada mereka.

Perhatikan firman-Nya dalam QS Ali Imran [3] ayat 123: ''Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah (sedikit jumlahnya dan perlengkapan perang yang tidak mencukupi). Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.''


Pelajaran dari Perang Uhud

Ketika kaum Muslimin melaksanakan peperangan berikutnya, yakni perang Uhud yang sangat terkenal. Pada kali pertama kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah karena semua tentara kaum Muslimin pada waktu itu memiliki kedisiplinan yang tinggi pada aturan dan ketentuan. Semuanya merasa ikhlas dan memiliki motivasi yang sama, yakni berjuang serta berjihad di jalan Allah SWT.

Akan tetapi, ketika terjadi perebutan
ghanimah (rampasan perang) dan adanya tentara yang tidak disiplin pada aturan, yakni ketika pasukan pemanah ( ar-Rummah) diperintahkan untuk tetap pada posisinya dalam kondisi apa pun, tetapi karena mereka (pasukan pemanah) tergoda dengan banyaknya ghanimah yang diperebutkan oleh para tentara yang lain, mereka turun meninggalkan posisinya untuk ikut memperebutkan ghanimahtadi. Hal itu dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang balik pasukan kaum Muslimin.

Maka terjadilah musibah yang sangat besar yang dialami oleh kaum Muslimin. Banyak sahabat yang mati syahid. Meskipun kemudian, Allah SWT tetap menggerakkan hati kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam menghadapi musuh-musuh agama.


sumber: www.republika.co.id

Baca Selengkapnya......
 

blogger templates 3 columns | Make Money Online