12.1.09

Biarkan Aku Jadi Orang Palestina!

Dia telah menyadari kenyataan itu sejak awal. Tepatnya sejak pemimpin redaksi majalahnya menugaskannya ke Israel untuk meliput perkembangan terakhir negeri itu. Dia menyadarinya dengan baik bahwa kini ia sedang memasuki dunia baru yang penuh petualangan. Sebuah dunia yang sarat dengan bau kematian sekaligus suara-suara kehidupan.

Sekalipun begitu, ia tak pernah menduga sama sekali kalau hal itu akan menjadi awal dari masa ketika ia harus melewati jenak-jenak kebimbangan yang terbentang jauh, jauh sampai melampaui tapal batas yang mungkin dicapai sepelontaran batu anak-anak Palestina. Ia tidak lagi menemukan jalan menuju kehidupan selain ini: di kematian.

Ia tak pernah membayangkan bahwa dari titik itu ia kelak akan kehilangan beberapa huruf dari abjad keyakinannya, di tengah gumpalan lahar kata yang panas dan bara perasaan yang menyala-nyala. Dan sekarang, ia bahkan tak dapat memahami suaminya, Albert, seseorang yang selama ini dengan setia selalu ia temani. Rasanya gandengan tangan mereka tak pernah bisa lepas. Atau barangkali ia memang sudah tak mempercayainya lagi.

Ketika itulah, saat-saat kesubliman berubah menjadi kemarahan, ia muntahkan semuanya. Dan sambil mengunyahnya ia berteriak keras-keras penuh perasaan yang menggejolak. ”Demi Tuhan, sekarang saya benar-benar tidak tahu siapa yang lebih kuat diantara mereka.” Sambil menekuri asap rokoknya, suaminya menjawab,”Adalah hak penyerang untuk menentukan warna peperangan.”

”Dengan bersenjatakan batu?” Albert tidak menjawab, ia hanya tersenyum datar sembari mencampakkan puntung rokoknya ke tanah. Namun itu ternyata membuatnya kian marah. Seketika ia melemparkan sandwich-nya dan berteriak penuh emosi. ”Dengan hanya bersenjatakan batu, semua harapan akan pupus musnah ditelan perang yang tak seimbang.”

”Siapa bilang yang kita saksikan ini perang?”
”Lalu apa namanya?”
”Sebutlah ia, sesuatu yang tak dapat dihentikan oleh kata yang lusuh.”
Cathy menatap tanah, terpekur. Sementara gumpalan kekesalan memenuhi rongga dadanya. Sejurus kemudian, ia kembali menatap suaminya. ”Saya tidak melihat mereka lebih beruntung dari puntung rokok itu,”katanya sambil menunjuk puntung rokok yang tergeletak di atas tanah. ”Bukan tidak mungkin.”
”Boleh jadi kehadiranmu menjadi harga bagi kematian mereka.”
”Saya kira kamu tidak sedang memperolok-olokkan saya,’kan.”
”Percayalah, sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa batu kecil mereka ternyata memiliki kekuatan sedahsyat itu. Kekuatan tersebut rupanya tersembunyi di balik sorot mata mereka. Dan mata mereka tak pernah takut pada debu.”

Albert memalingkan mukanya dari tatapan istrinya. ”Barangkali dunia harus membuka matanya kembali,” gumamnya pelan, seakan-akan ia tujukan pada dirinya sendiri.

Dan kesubliman itu makin memadati celah-celah benak Cathy. Sesuatu yang membuatnya kian tak mampu memahami Albert, suaminya. Di depan matanya, seluruh dimensi lain yang menyelimuti kepribadian Albert terlalu luas. Sementara itu, ia merasa terlalu sederhana agar dapat memahaminya. Kebingungan Cathy tampak jelas ketika ia kembali bertanya: ”Apa yang mereka inginkan dari semua ini?”

”Mereka menginginkan sesuatu yang tak mungkin diraih kecuali dengan cara itu.” Mendengar jawaban tersebut Cathy langsung memegang tangan suaminya. Dan dengan tatapan lesu, ia berkata: ”Albert, ah, saya benar-benar tidak dapat memahamimu lagi.” Albert segera memeluk istrinya, dan menyandarkan kepalanya ke dalam lekukan dadanya. ”Mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat membuat mereka merasa rugi. Mereka hanya...” ”Yah, mereka memang anak-anak. Mereka masih terlalu kecil. Mereka belum tahu apa arti perang...” potong istrinya.
”Anak-anak dilahirkan untuk kehidupan. Tapi mereka? Mereka? Mereka dilahirkan bersama kematian!” ”Akan tetapi mereka masih terlalu kecil! Hanya kedamaian yang hidup dalam pancaran mata mereka.”

”Perdamaian berarti kebebasan.” (Kegeraman dalam suara-suara tersebut bagai merasuki kata-katanya, atau itu amarah kesedihannya?) Albert kembali menyiagakan kamera yang tak pernah lepas dari tangannya. Sejurus kemudian mereka berdua kembali mengejar serdadu-serdadu Israel yang mulai memuntahkan peluru.

Di mata tentara Israel, segala sesuatu menjelma menjadi batu kemarahan. Bahkan kabel-kabel listrik, tangan-tangan kecil, kaleng-kaleng sirop yang tergeletak di jalan-jalan, semua beralih menjadi benda-benda menakutkan yang setiap saat bisa mematikan. Albert berhenti sejenak, sebuah panorama yang telah lama diimpikan tiba-tiba muncul di depan matanya. Segera saja ia mengabadikan pemandangan langka itu dengan kamera jitunya. Dalam foto itu, tampak wajah seorang bocah yang juga sedang gusar. Sayatan sembilu kesenduan, yang memancar dari kedua bola matanya begitu memilukan, bersekutu erat dengan kedua tangannya yang tampak begitu kekar dan teguh. Prototipe anak-anak Palestina.

Dalam gambar itu juga terlihat potret seorang serdadu Israel yang tampak bagai raksasa bdoh. Air mukanya mengesankan bahwa ia tidak menyadari kekerdilan yang berakar di dalam hatinya, yang terus membuatnya bergidik dirundung ketakutan. Albert memegang pundak istrinya. Ia tersenyum, lalu berkata: ”Coba kita saksikan nanti, apa kata dunia saat menyaksikan potret tentara Israel yang sesungguhnya.”

”Saya tidak pernah tahu kalau kau ternyata membenci orang-orang Israel.”
”Percayalah, saya tidak membenci mereka.”
”Tapi sekarang kamu menunjukkannya.”
”Dengan segala kebengisan mereka? Yah, saya memang membenci mereka!””Bukan suatu kesalahan jika mereka mencintai hidup.”
”Namun adalah zalim jika seseorang mempertahankan kehidupan dirinya dengan merampok umur orang lain.”
”Jadi kamu percaya pada bocah-bocah itu?”
”Ya, seperti keyakinanku pada matahari, dan pada kebenaran yang telah mendorong saya datang kesini. Yakinlah, saya tidak akan sanggup melawan tentara Israel dengan hanya bersenjatakan batu-batu kecil. Misteri kekuatannya tersembunyi dibalik tangan-tangan mereka, Sayang. Bukan pada batu-batu itu.”
”Namun lontaran batu-batu mereka akan berjatuhan, lalu dihancurleburkan oleh peluru.”
”Peluru itu sudah habis sejak ia ditembakkan. Tapi batu-batu mereka tetap abadi, karena bumi akan selalu setia menyimpan pecah-pecahannya.”
”Akan tetapi mereka masih terlalu kecil.”
”Benar. Namun ketika mereka mulai menggenggam batu-batu, mereka bukan lagi anak kecil.”
Khayalan Albert melayang jauh, kemudian dengan tiba-tiba ia mulai berucap:”Semalam kamu menangis. Mengapa? Apa yang terjadi?”
”Tak ada apa-apa. Kecuali tulang belulang yang hancur remuk, sejumlah orang yang dikubur hidup-hidup, kepala-kepala yang terus menerus dihajar pentungan. Tak ada apa-apa. Kecuali hanya kematian. Yah, kematian tanpa harga.”
”Saya ingin kamu kembali ke Amerika.”
”Saya tidak akan meninggalkanmu seorang diri.”
”Yakinlah, kamu tidak akan sanggup membawa beban lebih dari ini. Mereka semua ketakutan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita jika kita membuat mereka marah?”
Sebuah tatapan penolakan dilayangkan Cathy kepada suaminya. Sebentar kemudian ia mengingatkan: ”Kebijakan tak pernah bisa berdampingan dengan ketakutan, Albert!”
”Pekerjaan kita penuh bahaya. Kuharap, kembalilah, perca...” Albert tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Tiba-tiba ia berlalri cepat, mengejar serdadu-serdadu Israel yang kembali menembakkan senjata dan menyemburkan gas air mata.

Seorang serdadu Israel yang takut melihat sorot matanya segera menangkapnya. Mereka memukulinya ramai-ramai. Gadis kecil itu tampak begitu suci. Ia bahkan lebih suci dari cahaya fajar. Yah, fajar yang dibenci oleh serdadu-serdadu itu. Pemandangan tadi membuat Albert kehilangan kesabaran. Ia tak sanggup melanjutkan pemotretannya lagi, ia tak tahan lagi berdiam diri bagaikan fokus kamera. Seluruh kemarahannya tumpah dalam teriakannya: ”Kalian akan membunuhnya!”

Seorang serdadu Israel menatapnya, dengan dendam. Ia kemudian mendorong Albert agar menjauh. Ia juga merampas kamera dari tangannya, menghempaskannya ke tanah dan menginjaknya dengan kedua kakinya. Albert berusaha membela diri dan istrinya, yang telah menjadi pasangan hidupnya sejak ia menjadi wartawan. Namun serdadu Israel itu tidak memberinya kesempatan untuk berdiri. Ia bahkan memukul kepalanya. Ia mengucapkan begitu banyak kata tanpa arti yang jelas. Ia tampak begitu dendam bagai topan, tapi sekaligus takut bagai pasir.

Cathy segera menghampiri suaminya sembari berteriak sekeras-kerasnya. Semua kata-kata busuk, yang mungkin dipakai mengata-ngatai serdadu-serdadu keparat itu, ia keluarkan, sambil membalut luka suaminya. Ia lalu membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang malam Cathy duduk menunggui suaminya. Pemandangan ini seperti menghidupkan luka-lukanya. Perlahan suaminya tampak mulai membuka matanya. Seketika ia percaya bahwa musibah itu terasa akan lebih ramah. Dengan senyum dibuat-buat, Cathy berkata: ”Saya tahu kamu belum akan mati. Tenanglah. Kita tak akan mendiamkan kejadian ini. Dunia pasti akan tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tidak usah khawatir, saya telah membelikan kamera baru untukmu.”

”Cathy, sayangku, demi aku kembalilah ke Amerika.”
”Setelah kejadian ini? Mustahil!”
”Mereka semua ketakutan.”
”Tidak, sebelum aku membelalakkan mata dunia dengan kenyataan yang sesungguhnya.”
Albert terdiam sejenak. Sembari menahan rasa sakit yang amat sangat di kepalanya, ia berucap:
”Orang boleh menemukan kebenaran di setiap tempat. Namun hanya disini orang dapat merasakannya.”
”Saya akan mengadukan serdadu-serdadu yang menyerangmu ke pengadilan,”ujar Cathy. Albert kembali meraba kepalanya dengan kepalan tangannya. Ia menyeringai, lalu tertawa dan berkata: ”Jangan berbuat tolol.”
”Kamu mulai latah, Albert.”
”Saya telah merenung begitu lama, hingga akhirnya saya bisa memahami misteri permainan ini.”
”Wah, boleh juga punya suami filosof.”
Air mukanya tiba-tiba berubah seketika seakan-akan mengingat sesuatu, kemudian ia bertanya: ”Apa yang terjadi dengan gadis kecil itu?”
”Serdadu-serdadu Israel memasuki rumah-rumah penduduk dan memukuli mereka tanpa ampun, lalu merampasi harta benda mereka.”
”Apa yang terjadi dengan gadis kecil itu?” Albert mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi.
”Ia tewas!”
Mendengarnya Albert langsung berdiri dari tempat tidurnya. Ia merasa begitu sedih dan murung. Ia menatap ke kejauhan, menatap kekosongan. Ia mendesis:”Tak seorang pun menolongnya.”
”Mereka mengikutinya sampai ke rumah sakit. Tapi kemudian mereka membunuhnya di sana,” ujar Cathy. ”Sendiri?” tanya Albert.
”Orang-orang Israel itu tidak percaya pada jumlah yang kecil.”

Cathy terdiam sejenak. Lalu dengan nada suara tinggi ia mengatakan: ”Mereka harus membayar harga kegilaan mereka akan darah yang tercurah.” Kemudian Cathy keluar ruangan itu. Air matanya tumpah. Setiap detik berlalu begitu bengis, sebengis wajah serdadu-serdadu Israel yang berkeliaran di jalan-jalan. Begitu menyakitkan! Pahit seperti darah bocah-bocah cilik itu. Cathy kembali menenteng kameranya, menelusuri jalan-jalan Palestina. Ia mencari kisah baru, tentang seorang bocah yang mengacungkan tangan kemenangan untuk sebuah perang yang belum dimulai, tentang seorang bocah yang mengacungkan tangan demi cinta, dan perang!

Seorang bocah kecil, yang sedang mencari mimpi-mimpi kepahlawanan, mendekati seorang serdadu Israel, lalu melemparnya dengan sebuah batu kecil. Matanya nyalang dan menyala. Sama sekali tidak ada ketakutan terpancar dari sorot matanya. Di matanya, masa kanak-kanaknya tampak seperti sebuah mahluk baru, tempat segala sesuatu lebur menjadi satu, kemudian dengan tiba-tiba menemukan betapa tidak berartinya tatapan matamu padanya, betapa tiada bertepinya tempat bersandar seluruh angan-anganmu. Masa kanak-kanak di matanya bagai garis-garis tanpa warna yang saling bersilangan. Dan kau tahu, setiap bocah Palestina membawa mahluk seperti ini dalam bola matanya.

Serdadu itu berusaha menagkapnya. Namun tubuhnya yang ringan membuat si serdadu gagal menghisap darahnya dan meremuk-remuk tulang belulangnya yang masih rawan. Cathy segera menjepret adegan yang begitu berani yang diperagakan bocah tersebut. Kebahagiaan terbayang jelas di wajahnya melihat bocah kecil itu berhasil lolos dari kejaran serdadu Israel. Kini ia tahu, bukan hanya orang-orang Indian yang pandai menguliti kepala manusia! Akan tetapi ia masih bisa menemukan sejumlah alasan yang mungkin membenarkan orang-orang Indian itu melakukannya.

Serdadu Israel itu segera sadar akan kehadiran Cathy. Amarahnya meledak. Ia berusaha mengusir Cathy dengan kasar. Namun sebuah batu, yang tiba-tiba dilemparkan si bocah untuk kedua kalinya, memaksa serdadu Israel itu meninggalkannya. Ia segera memburu kencang, sangat kencang, mengejar si bocah sembari berteriak mengancam akan membunuhnya. Serdadu itu menebarkan peluru senapannya ke segala arah. Akan tetapi tubuh bocah kecil itu enggan disasari peluru.

Cathy berusaha mendekati bocah-bocah pembangkang tersebut. Ia melihat seorang bocah yang sejak tadi mengawasinya. Si bocah tampak bingung. Cathy mendekatinya dengan hati-hati. Cathy sama sekali tidak merasa kalau bocah itu takut atau ragu padanya. Ia lalu memegang kedua tangan kurusnya yang berlumuran darah dan debu bebatuan. Dan dengan hangat ia mendaratkan sebuah ciuman ke jidatnya. Oh, betapa ia merasa begitu kerdil di depan sang pembangkang kecil. Kemudian dilepaskannya kalung kesayangan yang selama ini dipakainya. Ia merasa kalung itulah satu-satunya harta yang paling berharga baginya. Ia lalu memasangkannya ke leher si bocah, dan menatapnya sendu. Pelan-pelan anak itu menjauhi Cathy, kemudian memungut sebuah batu kecil dan menyerahkannya padanya. Itulah hadiah termahal dari bocah pembangkang. Barangkali bocah tersebut belum terlalu memahami makna tindakan wartawati Barat itu padanya. Namun ia agaknya merasa bahwa si wartawati tidak berbeda jauh dengan ibunya yang selalu menunjukinya tempat-tempat yang banyak menyimpan pecahan batu.

Cathy menggenggam batu kecil itu. Ia merenunginya dalam-dalam. Ia kemudian pergi seorang diri. Mata bocah pembangkang tadi masih terus memandangi kepergiannya. Hingga akhirnya Cathy menjauh bersama hadiah termahalnya. Dan si bocah pun kembali memungut batunya, kembali bergelut dengan serdadu-serdadu yang terus memburu dengan rasa haus akan kucuran darahnya. Dari kejauhan Cathy kembali menatap si bocah kecil. Semua peristiwa di masa lalu kembali terekam cepat dalam ingatannya. Kini semua menjadi jelas. Sekaligus mengerikan. Masa kanak-kanak tidak mungkin sirna di tengah negeri perdamaian dan anak-anak. Cathy masih menatap anak tadi seakan hendak menyimpannya dalam matanya, selamanya.

Bocah kecil itu berlari bagai anak panah, melemparkan batu kecilnya, dan meneriakkan kata-kata yang tak dapat dipahami Cathy. Sekalipun ia yakin bahwa kata-kata itulah yang menghidupkan revolusi pada kedua bola mata mereka, pada telapak kaki mereka. Si bocah kecil terus meneriakkan ”Allahu Akbar.” Namun tiba-tiba saja serdadu Israel menggilasnya dengan kendaraan lapis baja. Bocah kecil itu berusaha berlari dan menghindar. Ia berusaha mencari dada ibunya. (Dia bocah kecil. Mengapa mobil berlapis baja harus menjadikan tubuhnya yang masih hijau sebagai batu-batu jalanan?)

Seakan kesurupan Cathy menghampirinya. Ia berteriak: ”Tidak! Tidak! Tidak!” Namun teriakannya tak’kan pernah sampai ke telinga siapa pun. Kendaraan lapis baja mengubah tubuh kecil yang masih hijau itu sebagai mimpi yang tak sempat menjadi kenyataan. Cathy melemparkan dirinya yang remuk redam ke atas tanah. Dipeluknya erat-erat bocah yang masih berlumuran darah itu. Si bocah masih mengenakan kalung pemberiannya. Dan tersenyum seperti bocah lainnya. Itu wajah seorang bocah. Mengapa mereka mengotorinya dengan darah? Bahaya apakah yang mungkin ditimbulkan oleh sebuah batu kecil, dari seorang bocah kecil, bagi para serdadu bersenjata api otomatis itu?

Cathy menggoncang-goncangkan tubuh si bocah. Ia berusaha membangunkannya. Bocah itu terlalu lembut. Mengapa ia harus mati? Umurnya pasti belum sampai enam tahun. Akan tetapi mengapa ia harus mati begitu cepat? Cathy menatap gusar ceceran darah yang mengucur ke bumi. Kemudian ia menatap tangannya sendiri yang masih menggenggam hadiah termahal dari si bocah. Ia merasa seperti dihentakkan oleh kesedihan dan kemarahan.

Lalu tiba-tiba ia berteriak sekuat-kuatnya, dibangkitkan oleh kekuatan yang dibawa bocah-bocah pembangkang di tanah jajahan: ”Tidak! Tidak! Tidak!” Dan serta merta hadiah si bocah kecil ia lontarkan sekuat tenaga ke arah serdadu-serdadu Israel. Cathy terus berteriak, terus memungut batu-batu bersama bocah-bocah lainnya, dan melemparkannya ke tentara Israel itu. Ia terus dan terus membalaskan dendam demi darah suaminya dan darah bocah kecil itu.

Biarkan aku jadi orang Palestina!
Biarkan aku jadi orang Palestina!

Li Man Tahtamil al-Rashshah. Jihad al-Rajbi. Filistin Muslimah, 1993. Terjemahan Anis Matta. Pustaka Firdaus dan Yayasan Sidik, 1995.


0 Comments:

 

blogger templates 3 columns | Make Money Online